Jangan Meninggalkan Garis Pimpinan! (Belajar Dari Kesesatan Kaum Khawarij)
Penulis: M. Gufran, QH., M.Sos (Sekretaris LPPM IAIH NW Lombok Timur)
Dalam catatan sejarah, pada tahun 37 H/ 657 M, pernah terjadi peperangan besar antarumat Islam, yaitu Perang Shiffin: perang antara pasukan Sayyidina Ali bin Abi Thalib dengan pasukan Muawiyah bin Abi Sufyan. Dalam peperangan ini, dikisahkan bahwa pasukan Muawiyah sudah di ambang kekalahan, sehingga Muawiyah pun menawarkan kesepakatan damai. Ketika Sayyidina Ali bin Abi Thalib menyetujui tawaran damai dari kelompok Muawiyah, muncul sekelompok orang dari pengikut Sayyidina Ali yang menolak keras kebijakan Sang Khalifah. Kelompok ini berlepas diri dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan memilih meninggalkan garis pimpinan yang di kemudian hari dikenal sebagai kaum Khawarij.
Kaum Khawarij adalah sekelompok manusia yang sangat membenci Khalifah Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Orang-orang yang tergabung di dalam kelompok ini dikenal sebagai orang-orang yang tekun luar biasa dalam beribadah. Bahkan sampai-sampai disebut Asy-Syurrah karena mereka berikrar bahwa mereka telah menjual dirinya (syaraina) dalam ketaatan kepada Allah Swt.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib pun berinisiatif mengatasi kaum Khawarij dengan mengutus Sayyidina Ibnu Abbas ra, seorang Ulama terkemuka yang masyhur dengan keluasan dan kedalaman ilmu agamanya. Tatkala Sayyidina Ibnu Abbas berdialog panjang lebar dengan kelompok Khawarij, sampai akhirnya mereka harus mengakui integritas wawasan dan keilmuan Ibnu Abbas ra.
Usai berlangsungnya dialog itu, ada ribuan orang Khawarij bertaubat di hadapan Sayyidina Ibnu Abbas. Mereka yang bertaubat ini dengan rendah hati menerima kebenaran melalui lisan mulia Ibnu Abbas ra. Sementara orang-orang Khawarij yang enggan bertaubat, mereka ini adalah orang-orang yang hatinya telah tertutup oleh kesombongan dan kebencian di hati mereka. Pikiran dan hati mereka sepertinya sudah terselimuti kebencian secara total kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra.
Sungguh, betapa mengerikannya pola pikir dan keyakinan yang dianut oleh kaum Khawarij ini. Bayangkan saja, mereka tak segan-segan memvonis kelompok di luar mereka sebagai orang kafir. Mereka gemar membunuh dan melakukan aneka kerusakan terhadap orang-orang yang berbeda pemahaman dengan mereka. Celakanya, semua bentuk kekejian-kekejian yang mereka lakukan itu mereka yakini sebagai sebuah kebenaran dan merupakan wujud nyata dari perjuangan membela agama. Mereka beri’tikad bahwa pikiran dan tindakan mereka itu berada di atas jalan kebenaran yang pasti diganjar dengan pahala dan surga oleh Allah Swt.
Atas dasar keyakinan ini, kaum Khawarij selalu merasa percaya diri dalam bertindak di luar nalar orang beriman. Mereka tidak sadar bahwa pemikiran radikal yang mereka bangun dan tindakan keji yang mereka lakukan itu lahir atas dasar kesombongan mereka yang menganggap diri paling cerdas dan paling tahu soal salah dan benar dalam agama. Mereka sangat berani menyalahkan dan menggugat kebijakan pimpinan (baca: Sayyidina Ali bin Abi Thalib) yang sudah nyata integritasnya, baik secara nasab maupun secara keilmuan dan kesalehannya. Setelah mereka berdiri tegak menggugat dan melawan kebijakan pimpinan, mereka pun dengan penuh keyakinan membuat sempalan. Mereka dengan sombong membelot dan keluar dari barisan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, lalu berubah menjadi sekelompok kaum radikal yang selalu berteriak mengkafirkan dan menghalalkan darah orang yang tidak sejalan dengan mereka.
Berangkat dari peristiwa di atas, maka ada beberapa catatan hikmah yang perlu digarisbawahi, sebagai bahan refleksi dan introspeksi diri, yaitu:
Pertama, rasa sombong di dalam hati adalah cikal bakal manusia bertindak khilaf bahkan berani melakukan kejahatan besar. Andaikata mereka (Kaum Khawarij) ini mau menyingkirkan kesombongannya dan memilih yakin, taat, dan setia terhadap kebijakan Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang memilih damai di saat terjadinya arbitrase dengan Muawiyah, boleh jadi nama kaum Khawarij tidak akan terdengar dan tak akan tertulis dalam lembaran sejarah perjalanan umat Islam. Sungguh, kesombongan di dalam dada adalah sumber dari segala bentuk kekejian dan kezaliman.
Kedua, meninggalkan garis pimpinan adalah awal mula tersesatnya arah jalan hidup. Sebagaimana yang terjadi pada kaum Khawarij, mereka dijangkiti teologi radikal dan sesat setelah meninggalkan garis sang khalifah. Mereka yang pada mulanya menjadi pendukung setia, berubah menjadi penentang keras yang sangat kejam. Mereka pun tidak ragu sedikit pun berikrar bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang telah dijamin masuk surga oleh Nabi Saw itu dianggap sesat, kafir, dan boleh dihabisi nyawanya tanpa ampun. Dan ternaya betul, Sayyidina Ali bin Abi Thalib dibunuh oleh seorang anggota Khawarij bernama Abdurrahman bin Muljam. Pembunuhan ini terjadi pada tanggal bulan Ramadhan tahun 40 H di kota Kufah.
Ketiga, ketika kebijakan pimpinan secara resmi telah dikeluarkan, mari bersedia setia mengikuti kebijakan itu, Sami’na wa Atho’na zahir-batin tanpa negosiasi lagi. Andai ada negosiasi dan pertengkaran pikiran, dicukupkan saja di ranah diskusi sebelum kebijakan resmi pimpinan dikeluarkan. Tatkala kebijakan pimpinan sudah dikeluarkan, kepatuhan dan kesetiaan menjadi kunci dalam mencapai tujuan bersama antara pemimpin dan pihak yang dipimpin.
Keempat, keselamatan dan kebahagiaan hidup itu berada pada keyakinan penuh terhadap pimpinan. Keyakinan penuh terhadap pimpinan adalah modal utama dalam mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup dalam konteks hidup berkelompok atau berorganisasi. Oleh karena itu, Ketika keyakinan kita terhadap pimpinan telah tumbuh indah di dalam hati, maka keyakinan itu harus dijaga dan dirawat baik dengan tetap memegang teguh prinsip Sami’na wa Atho’na. Menjaga dan merawat keyakinan akan sempurna dengan tetap berserah diri memohon Hidayah Allah Swt agar keyakinan kita tetap terpatri kuat di dalam hati sampai di penghujung akhir hidup kita. Wallahu A’lamu Bish-Showab.
Pajang, 14 Maret 2021 M