Pemanasan Global dan Krisis Lingkungan
Oleh: Abdul Haris Rasyidi – Pengajar di STIT Palapa Nusantara Lombok NTB
Dalam beberapa dekade terakhir, cuaca ekstrem semakin menjadi bagian dari kehidupan manusia. Sementara itu, dunia terus berkutat dengan isu perubahan iklim dan krisis lingkungan. Pada tahun 2015, sebanyak 196 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam perjanjian Paris bersepakat untuk membatasi pemanasan global di bawah 1,5 – 2 derajat Celsius, namun upaya tersebut belum berhasil.
Paris Agreement memakai prinsip common but differentiated responsibility and respective capabilities, membagi tugas dan tanggung jawab bersama antara negara di dunia untuk menurunkan produksi gas emisi.(Baroleh et al., 2023) Perjanjian Paris telah mempromosikan tindakan iklim yang hampir universal dengan menetapkan tujuan dan menyampaikan pesan kepada dunia tentang pentingnya menanggapi krisis iklim. Indonesia memiliki komitmen yang kuat terhadap perjanjian Paris, tidak hanya dengan berpartisipasi dalam perjanjian internasional tersebut, tetapi juga dengan meratifikasinya, sehingga telah diatur dalam UU No. 16 Tahun 2016.
Fenomena pemanasan global semakin nyata, dengan meningkatnya suhu rata-rata bumi akibat pelepasan berlebihan gas rumah kaca ke atmosfer, terutama karbon dioksida (CO2) dan metana (CH4). Hal ini disebabkan oleh aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, dan polusi industri. Krisis lingkungan terpengaruh oleh pemanasan global dan berbagai masalah lingkungan lainnya yang mencakup perubahan iklim ekstrem, kehilangan keanekaragaman hayati, pencemaran udara, kekurangan air, dan kerusakan ekosistem bumi.
Dikutip dari laporan Global Stocktake, peringatan terbaru dari PBB mengenai bahaya-bahaya lingkungan menjadi dasar dari pembicaraan COP28 di Dubai pada akhir tahun 2023 lalu dan menyusul kebakaran hutan selama berbulan-bulan dan temperatur yang meningkat.(Reuters, 2023)
Krisis lingkungan juga berdampak serius terhadap kehidupan dan kondisi di bumi, termasuk cuaca ekstrem yang menyebabkan bencana alam, perubahan pola musim yang tidak menentu yang mengganggu pertanian dan produksi pangan, tekanan pada infrastruktur, hingga kenaikan permukaan laut yang mengancam wilayah pesisir. Ancaman terhadap flora dan fauna yang bisa menyebabkan kepunahan juga berdampak serius pada kondisi sosial masyarakat, mulai dari ekonomi hingga masalah kesehatan. Ini menunjukkan kerusakan alam yang bisa mengarah pada kerusakan tatanan sosial masyarakat dan bahkan mengancam kehidupan makhluk hidup di lingkungan kita. Lingkungan terdiri dari komponen biotik, seperti manusia, tumbuhan, dan hewan, serta komponen abiotik, seperti air, udara, dan tanah.
Jika berpedoman pada Qur’an, maka ditemukan bahwa menjaga keseimbangan alam merupakan kewajiban sebagai bentuk kecintaan manusia terhadap lingkungan. Sebagaimana dinyatakan dalam ayat Al-Qur’an Surat Al-Mulk.
Artinya: Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? (Q.S Al-Mulk ayat 3)
Pertama, Ayat tersebut menegaskan bahwa Allah subhanahu wata’ala, sebagai pencipta tujuh langit yang berlapis-lapis, menunjukkan kekuasaan, kebijaksanaan, dan keagungan-Nya dalam menciptakan alam semesta yang kompleks dan terstruktur. Oleh karena itu, tidak ada cacat atau kekurangan dalam ciptaan Allah subhanahu wata’ala. Semua yang diciptakan-Nya adalah sempurna, harmonis, dan sesuai dengan rencana yang sangat sempurna.
Kedua, Ayat ini juga mengajak manusia untuk merenungkan dan memikirkan ciptaan Allah subhanahu wata’ala sebagai tanda-tanda kekuasaan dan kepemilikan-Nya yang tiada banding (mukhalafatuhu lil hawadits). Ini merupakan anjuran untuk merenungkan penciptaan-Nya dan menyimpulkan bahwa keesaan dan keagungan Allah subhanahu wata’ala merupakan bukti bagi orang-orang yang berakal (la’ayaatin li’ulil al-bab).
Ketiga, Ayat ini mengajak manusia untuk merenungkan ciptaan Allah SWT dan bertanya kepada diri mereka sendiri, “Apakah kalian melihat sebarang cacat?” Ini merupakan ajakan untuk berpikir dan merenungkan tanda-tanda kekuasaan Allah dalam alam semesta. Karena itu, tugas manusia adalah mengenal Allah, menyembah, tunduk, dan patuh kepada-Nya. Semua bentuk kehidupan di bumi saling terkait dan bergantung satu sama lain untuk kelangsungan hidup seluruh makhluk. Hal ini mencakup hubungan manusia dengan alam semesta serta dengan makhluk hidup lainnya, seperti hewan, tumbuhan, dan mikroorganisme.
Dalam menghadapi fenomena ini, ekologi spiritual dianggap sebagai salah satu solusi untuk mengatasi kondisi yang semakin memburuk (tanpa mengabaikan upaya pemerintah dalam menangani pemanasan global dan krisis lingkungan). Ekologi spiritual menekankan pentingnya pemeliharaan alam dan perlindungan lingkungan. Hal ini menunjukkan keterkaitan antara manusia, alam, dan dimensi spiritual atau kekuatan batin manusia yang menekankan bahwa menjaga lingkungan adalah bagian esensial dari praktik spiritual yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Maka ekologi spiritual mengajarkan bahwa semua makhluk hidup, termasuk manusia, merupakan bagian dari jaringan kehidupan yang saling berhubungan.
Pandangan ini berdasarkan gabungan unsur-unsur ekologi, filosofi, dan spiritualitas untuk memahami hubungan manusia dengan alam semesta. Konsep bahwa semua makhluk hidup, termasuk manusia, merupakan bagian integral dari jaringan kehidupan yang lebih luas, adalah inti dari pemahaman dalam ekologi spiritual. Oleh karena itu, ekologi spiritual dapat mendorong manusia untuk merasa lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan dan makhluk hidup lainnya.
Ekologi spiritual menghormati keragaman alam dan menghargai keanekaragaman hayati. Hal ini, dapat menginspirasi tindakan konservasi dan perlindungan terhadap spesies serta ekosistem yang terancam. Sehingga, setiap individu itu, penting mengutamakan kebutuhan dasar dan pengurangan konsumsi yang berlebihan. Pemahaman spiritual sering kali mendorong kemurahan hati dan perhatian terhadap makhluk hidup lainnya, mendorong partisipasi dalam proyek-proyek konservasi, mengadopsi gaya hidup berkelanjutan, dan mendukung kebijakan lingkungan yang lebih baik.
Ekologi spiritual mendorong pemikiran jangka panjang dan berkelanjutan dalam pengelolaan sumber daya alam dan perlindungan lingkungan manusia, bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek.
Dengan mengintegrasikan nilai-nilai ekologi spiritual dalam budaya dan agama, serta menerapkannya dalam kebijakan dan tindakan sehari-hari, kita dapat mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang pentingnya menjaga alam dan menghadapi krisis lingkungan yang semakin mendesak.
Sikap yang baik dan bijaksana dalam pengelolaan alam adalah kebaikan bersama yang sangat penting dilakukan. Oleh karena itu, dalam mengelola alam, penting untuk mengadopsi sikap “ekologi spiritual,” di mana manusia berinteraksi dengan lingkungan dengan “menghadirkan” Allah SWT dalam setiap aspek kehidupan, aktivitas, dan merasakan bimbingan-Nya dalam menjaga kelestarian alam
Hubungan manusia dengan alam akan semakin kuat jika manusia mampu mengintegrasikannya dalam konsep hadaaratul alam, yaitu menjaga hubungan yang baik dengan alam. Dengan menerjemahkan potensi dan sifat-sifat Allah SWT dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sebagai contoh keteladanan serta kasih sayang terhadap mahluk lainnya, manusia dapat menjadi agen rahmatan lil alamin dalam mewujudkan keindahan, kenyamanan, dan kedamaian di bumi.
Wallahu A’lam…
Abdul Haris Rasyidi – Pengajar di STIT Palapa Nusantara Lombok NTB